Senin, 08 Maret 2010

Nusantara Negeri Keramat

Herman Sinung Janutama

Nuswantara
Ujung Selatan Lempeng Eurasia
-Sebuah Negeri Keramat-

Disusun untuk Panitia Malam Tirakatan
Satu Muharram 1431H
Kompleks Perumahan Yadara
Babarsari, Yogyakarta, 2009
Pengantar Diskusi

Dalam diskusi ini saya tidak menyampaikan suatu sejarah atau historiografi mengenai Nuswantara, karena beberapa alasan. Pertama, institut filsafat “Falsafatuna” tempat saya melakukan berbagai penelitian dan eksplorasi terutama bersitekun pada persoalan-persoalan filsafat. Artinya, studi mengenai keseluruhan filsafat hingga menjumpai berbagai metodologi yang sangat berguna bagi eksplorasi-eksplorasi eidetic, yakni menyelami pemaknaan atas segala sesuatu. Kedua, salah satu metodologi yang terdapat dalam tradisi filsafat -dan selanjutnya saya gunakan sebagai metode dalam studi perihal Nuswantara ini- adalah Semiologi dan atau Semiotika . Ketiga, dengan demikian diskusi ini adalah sebuah tindakan pembacaaan, sebuah waosan, atau sebuah iqra’. Di mana Nuswantara menjadi ‘teks’nya.
Pembacaan/waosan/iqra’ semiotik ini meliputi dua titik tinjau. Pertama, secara geo-kultural. Yakni relasi-relasi semiotic antara fakta geologis Nuswantara dengan fakta budayanya. Kedua, pembacaan semiotika-filologis terhadap struktur-struktur numenklaturnya. Pembacaan semiotik terhadap khasanah kekayaan arketip Nuswantara, sesungguhnya mungkin dilakukan. Namun tentu tidak mungkin dipresentasikan pada kesempatan yang sangat terbatas ini.
Terkait dengan hajat panitia Malam Siji Sura Yadara Ngayogyakarta Hadiningrat, semoga bahan diskusi ini menjadi sebuah alternative worldview, setidaknya menjadi pemantik bagi meditasi-meditasi pencerahan di tengah semangat jaman yang serba kemrungsung dan hampa epistemologi seperti sekarang ini. Amin.

***
Pendahuluan:
Semiotika/ Semiologi Saussure

Pembacaan semiotic terhadap fakta kebudayaan Nuswantara konsentrasi Ngayogyakarta Hadiningrat sangat penting mengingat negeri ini adalah suatu negeri kaya signifikasi, baik berupa symbol, sandi, dan tanda-tanda lainnya. Hal ini merupakan efek mekanistik simbolisasi dan signifikasi sistem budaya sanskerta. Dalam sistem budaya demikian apapun gagasan, pemahaman, ataupun agama tersimbolisasi dan tersignifikasi secara mekanistik. Ini adalah Kultuurcharakter budaya sanskerta.
Semiotika/ semiologi dalam tradisi strukturalisme maupun post-strukturalisme adalah suatu tindakan pembacaan /waosan /iqra’ atas realitas budaya dan bahasa. Secara lebih umum, adalah pembacaan/ waosan/ iqra’ atas sistem tanda (system of signification).

Filsuf-Semiolog melihat dan memperhatikan (sistem) tanda yang bergerak lincah di medan pertandaan. Ia menyebutkan macam-macamnya, bekas-bekas konfigurasinya. Baginya, tanda adalah idea yang bisa diindera .

Semiologi terkait dengan tradisi filsafat Perancis dan nama-nama seperti Saussure, Levi Strauss, Barthes, Foucaul, Lyotard, dan Derrida. Dari tradisi Semiotika non-Perancis juga dikenal nama-nama seperti Wittgenstein, Pierce, Hawkes, Hjemslev, Jacobson, dan van Zoest . Ia berasal dari bahasa Grece/ Macedonia semeion yang artinya tanda. Namun dalam kesempatan terbatas ini, saya hanya akan menggunakan semiologi elementer dari Saussure. Ia menjelaskan bahwa sistem tanda memuat kesatuan antara signified dan signifier, atau antara petanda dan penanda, antara persepsi dan ekspresi.
Signified atau petanda adalah keseluruhan aspek mental dan non-empiris dari sistem tanda, baik berupa persepsi, epistemologi, pengetahuan, mitologi, Weltan-schauung, teori, konsep, gagasan, idealisme, keyakinan, dll.
Signifier atau penanda adalah keseluruhan aspek material dan empiris dari sistem tanda, baik berupa ekspresi, indeks, clues, tanda, sandi/candi, simbol, bahasa, tulisan, patung/ arca, poster, iklan, klip, film, mitos, dll.


Diagram Sistem Tanda Saussure
(1)
Latar Belakang Strukturalistik
Semiotika/ Semiologi

Semiotika/ Semiologi berpijak pada diskursus filsafat strukturalisme di Perancis. Corak berpikir semacam ini berpijak pada prinsip-prinsip yang dikerucutkan oleh N. Troubetzkoy sebagaimana di bawah ini.
Pertama, strukturalisme (linguistik) telah bergeser dari studi-studi tentang fenomena sadar, menuju studi infrastruktur fenomena alam luar-sadar.
Kedua, strukturalisme (linguistik) tidak memper-lakukan term-term sebagai entitas yang berdiri sendiri, melainkan relasional baik etimologis antar-terma, maupun historis-epistemologis.
Ketiga, strukturalisme (linguistik) menunjukkan sistem-sistem fonemis konkret, kemudian menguraikan struktur sistem-sistem tersebut.
Keempat, tujuan strukturalisme adalah menemukan hukum-hukum umum. Troubetzkoy menuliskan bahwa,”di daerah dan masyarakat manapun di dunia ini memaksa kita untuk meyakini bahwa, … , suatu fenomena yang observable muncul dari hukum-hukum yang general namun tidak empiris.”

***
(2)
Tujuan Semiotika/ Semiologi

1. Semiologi/ Semiotika merupakan suatu metodologi/ instrumen berpikir pembuka rahasia teks dan penandaan .
2. Semiologi/ Semiotika merupakan suatu metode untuk membaca tanda-tanda kebudayaan sebagai suatu sistem signifikasi. Barthes menuliskan,”manusia struktural … juga mendengar bisikan alam dalam kebudayaan dan darinya mereka mencerap makna yang tidak begitu mapan, berhingga dan benar. Seperti sebuah mesin yang bergemuruh yang terus menerus diperunakan manusia untuk menciptakan makna. Tanpa mesin tersebut, mereka tak bisa lagi mengaku sebagai manusia.”
3. Semiologi/ Semiotika mengkritik asumsi logosentris. Bahwa konsep-konsep muncul lebih dulu dan terlepas dari ekspresinya atau dari representasi sistem tandanya . Dalam terminologi filsafat klasik: teori mendahului praxis. Perdebatan kontraproduktif teori-praxis dengan demikian dilampaui, sehingga tercapai pemahaman bahwa dalam suatu praktek (penanda) terdapat abstraksi epistemiknya (petanda), dan sebaliknya .
4. Semiologi/ Semiotika merupakan suatu bentuk penghancuran terhadap sistem-sistem makna yang selama ini sudah dianggap selesai dan mapan. Ia mendekonstruksi narasi-narasi besar yang menekan begitu lama. Semiologi/ Semiotika selalu membuka diri terhadap pemaknaan-pemaknaan baru, bahkan yang paling subversif sekalipun.
5. Semiologi/ Semiotika sebagai metode pembacaan penting diterapkan di Nuswantara/Indonesia. Operasi-operasi metode Semiologis/ Semiotik dapat digunakan untuk membedah sistem-sistem tanda yang sangat banyak terdapat dalam kebudayaan negeri ini.

***
(3)
Semiological Effects

1. Mitos sebagaimana metafor/ sanepa menjadi sebuah “jalan lingkar” menuju kebenaran. Ia suatu metabahasa. Di samping diskursus filsafat dan sistem ilmiah pengetahuan yang merupakan suatu strikeline. Barthes menuliskan bahwa, ”sistem tanda pada tingkatan-I merupakan denotasi/ sistem terminologis. Sedangkan sistem tanda pada tingkatan-II (metabahasa) merupakan konotasi/ sistem retoris/ mitologi.”
2. Weltanschauung/ idealisme penutur menjadi visible atau observable di mana pengindranya bukan lagi semata panca indra, melainkan pikiran/ intelek.
3. Persepsi, idea, agama, dll, sebagai aspek mental manusia yang terdapat dalam petanda semiologi, bergerak di luar kesadaran manusia. Maka ia langsung berpengaruh pada alam luar-sadar jiwa manusia sebagaimana definisi psikoanalisis Sigmund Freud.
4. Fakta-fakta mengenai differ (beda), different (berbeda), difference (perbedaan), seyogyanya mampu membawa homo-jogjaensis modern kepada differance. Yakni istilah Perancis untuk kemampuan mental untuk menunda, menahan diri, bersabar, atau sareh, semeleh dalam bahasa Jawa-Islam. Mental demikian terbentuk karena homo-jogjaensis mampu memahami asal muasal setiap differensiasi (pembedaan). Homo-jogjaensis serta merta menjadi homo-significans.

***

(4)
Meditasi Kritis

1. Terutama Semiologi/ Semiotika pada Barthes, ia merupakan suatu interpretasi kebudayaan. Tetapi maksudnya adalah mengarah kepada produksi makna sebanyak mungkin, tanpa upaya pencapaian makna ultim. Tak ada kebenaran tunggal. Ia bahkan curiga terhadap seluruh ideologi. Ia menyarankan suatu pluralitas makna dan interpretasi yang -dengan demikian- selalu mengingatkan manusia akan perbedaan-perbedaan yang memang nyata dalam kebudayaannya. Barthes menuliskan,”tepatnya dengan metode ini teks, menolak untuk menemukan satu-satunya ‘rahasia’ makna, sebuah makna ultim terhadap teks (termasuk kebudayaan), membebaskan aktifitas nati-teologi, sebuah aktifitas yang sungguh-sungguh revolusioner…”
2. Namun operasi demikian memerangkap semiologi pada absurdisme. Tak ada tujuan yang jelas atas pembongkaran makna-makna yang dilakukan terhadap kebudayaan. Ia terjebak pada kesia-siaan itu sendiri. Maka filsafat semiologi Barthes menjadi seperti semata-mata ‘main-main’ sebagaimana dituduhkan Juergen Habermas. Ia terdeviasi dari tradisi streben dalam eksplorasi filosofis, yakni mencari kehidupan dan dunia manusia yang lebih baik.
3. Semiologi/ Semiotika bisa terjebak pada semata-mata demi kesenangan, pleasurea (hedonisme) dan bliss. Pleasurea ini merupakan aktus bersenang-senang dan eforistik yang diakibatkan oleh kecemasan hidup atau angst yang tiba-tiba datang menyergap. Ujungnya adalah sebuah kepuasan absurd. Jebakan kedua adalah apa yang disebut Barthes sebagai bliss. Yakni hilangnya subyek, suatu kekosongan subyek .
4. Jika demikian maka harus kembali lagi, semiologi harus menyandarkan diri pada sebuah metafisika, sebuah wahyu/ revelasi. Heidegger menuliskan bahwa “keinginan untuk mengalami aletheia/ ketersingkapan –makna dari suatu sistem tanda- hanya memiliki satu obyek, kebenaran… Sementara kebenaran berarti revelasi.”
5. Sejauh ini di Indonesia Semiologi/ Semiotika baru dioperasikan dalam ilmu sastra sebagai metode untuk membedah naskah-naskah sastra, sementara filsafatnya belum banyak dimanfaatkan .
***

Operasi Semiotika/ Semiologi:
Kasus Nuswantara

Pada bagian ini saya mencobakan semiotika/ semiologi elementer Saussurean sebagai metode pembacaan/ waosan/ iqra’ atas fakta-fakta kebudayaan di Nuswantara/ Ngayogyakarta Hadiningrat. Eksplorasi ini terbagi dalam dua momen.
Pertama, adalah momen “dari petanda ke penanda”. Yakni penelusuran suatu alur sistem tanda dalam budaya Nuswantara/ Jawa yang muncul dari fakta-fakta geologinya. Dari fakta tersebut, dapat terobservasi suatu sistem notasi pengetahuan tradisi-eksotik yang similar dengan sistem notasi pengetahuan ilmiah. Keseluruhan pengetahuan natural tersebut menjadi aspek petanda dalam sistem tanda budaya Nuswantara/ Jawa.
Selanjutnya bagaimana aspek petanda di atas terepresentasikan atau terekspresikan dalam sistem dan tindakan simbolik dan/ terutama dalam notasi numenklatur raja-raja di Nuswantara/ Jawa. Dengan ungkapan lain, ekpresinya dalam aspek penanda.
Kedua, adalah momen balik atau inversi “dari penanda ke petanda”. Yakni penelusuran suatu alur sistem tanda dalam budaya Nuswantara/ Jawa yang bermula dari etimologi, terminologi, dan numenklatur yang terdapat di Nuswantara/ Jawa. Dari aspek penanda tersebut dapat ditelusuri sistem-sistem pengetahuan, idealisme, Weltanschaung, harapan, cita-cita, doa, dan berbagai aspek mentalnya. Dengan ungkapan lain, abstraksinya dalam aspek petanda.

***

(1)
Fakta Geokultural Nuswantara/ Jawa
-Dari Petanda ke Penanda-

Menyebut Nuswantara berarti mengacu kepada area kepulauan pra kolonial yang menjadi cikal bakal Indonesia. Efek bola bumi mengijinkan Nuswantara ditinjau sebagai sentrum globe dunia. Menurut laporan Bilveer Singh , konferensi tahunan di Hawaii mengenai Indonesia menyangkut masalah posisinya yang sangat strategis. Nuswantara/Indonesia secara geografis terletak pada jalur perdagangan Internasional. Sekalipun saat ini ekspedisi kargo telah mengalami perkembangan teknologi secara mengagumkan, namun untuk ekspedisi kargo dalam jumlah raksasa hanya dapat dilakukan melalui lautan. Dan jalur transkontinental via lautan dari Amerika ke Eropa-Afrika hanya bisa dilakukan melalui kepulauan Nuswantara.
Lintasan transkontinental ini tak mungkin dilakukan melalui selatan Australia atau utara Kanada. Daerah-daerah tersebut tertutup oleh lautan es. Satu-satunya lintasan hanya melalui Nuswantara. Hal ini telah berlangsung sejak ribuan tahun lalu, yakni disebut sebagai Jalur Sutra Laut (dari Eropa, Timur Tengah, ke Cina). Sedangkan lintasan darat disebut sebagai Jalur Sutra Darat.

Gb. 1. Nuswantara sentrum dunia

Gb. 2. Jalur Sutra Darat

Ke dua jalur perdagangan purba ini menepis anggapan bahwa masa lalu manusia merupakan peradaban yang statis dan tribalis. Ia adalah peradaban dunia yang mobil dan dinamis.
Secara geologis, seluruh peradaban ini terletak pada sebuah lempengan benua yang disebut sebagai Eurasia atau Euro-Asia. Artinya ia meliputi suatu area benua yang sangat luas. Dari Eropa hingga Cina, dan dari Russia hingga Nuswantara.


Gb. 3. Eurasia di antara lempeng-lempeng dunia

Lempeng Eurasia ini bergerak 3-7 cm/ tahun ke arah selatan menumbuk lempeng Indo-australia yang bergerak 5-7 cm/ tahun ke arah utara. Namun jika diperhatikan, lempeng Eurasia ujung selatannya mengerucut di Nuswantara, sehingga hampir seluruh sisi area Nuswantara merupakan area tumbukan dengan lempeng Indoaustralia. Fisika sederhana menjelaskan fenomena alamiah ini. Momentum tumbukan dengan lempeng Indoaustralia tidak diterima lempeng Eurasia secara merata. Ia semakin besar pada area tumbukan yang meruncing. Akibatnya, ujung Eurasia menderita beban berkali-kali lipat besarnya dibandingkan dengan area lainnya. Ujung lempeng itu adalah Nuswantara, dan ujung selatan Nuswantara adalah Jawa, dan titik tengah Jawa adalah Jawa Tengah sehingga menjadi ”gepeng”.


Gb. 4. Nuswantara ujung dari Eurasia

Dengan kata lain, pulau Jawa ”menyangga” beban lempeng Eurasia yang beribu-ribu kali lipat luasannya. Dan tengah-tengah area tumbukan Jawa Tengah adalah Daerah Istimewa Yogyakarta atau Mataram .



Gb. 5. Jawa Tengah yang ”gepeng” akibat menyangga beban tumbukan.



Gb. 6. Peta DI Yogyakarta



Gb. 7. Citra satelit DI Yogyakarta

Jika fakta geologis ini ditinjau secara semiotika, maka diperoleh sebuah korelasi logis antara ia dengan sistem tanda dan budaya di Nuswantara atau Jawa. Semiotika sederhana menyatakan bahwa ”sistem tanda bergerak, berdinamika di luar kesadaran manusia”. Pengetahuan geologis ini dijaman dahulu, sekalipun belum menjadi sistem ilmu yang diskursif, ia tetap menjadi sistem ”pemahaman”. Sistem abstrak ini dalam semiotika bersifat visible, karena terindera oleh struktur intelek manusia. Dalam sistem tanda semiotik ia menjadi sistem petanda yang terus menerus berkorelasi dengan sistem penanda manusia. Dan sistem ini mempengaruhi manusia secara di luar kesadaran. Artinya, seluruh aktifitas penandaan dalam sistem simbol dan budayanya ”terinspirasi oleh” atau ”dinaungi oleh” sistem petandanya secara automatically atau begitu saja.
Fakta geologis terpahami sebagai pengetahuan non-ilmiyah. Ia menjadi sistem petanda yang mempengaruhi pemahaman akal budi manusia Nuswantara/Jawa. Ini terdeskripsikan dalam salah satu mitos tentang jagad/ dunia di Nuswantara/ Jawa. Yakni mitologi mengenai sanggabuwana.



Gb.8. Diagram Sangga Buwana

Fakta budaya Nuswantara keseluruhannya bersifat religius, mengacu kepada sistem mental manusia Nuswantara yang menempati sebuah area ”genting” atau ”gawat” atau ”keramat”. Hanya struktur mental yang bergayut kepada Tuhan YME semata yang mampu mendiami area seperti itu. Hal ini menjadi reason dari kekayaan khasanah Nuswantara/ Jawa yang sangat signifikan dalam hal artefak-artefak religius. Dari mulai candi-candi, makam-makam keramat, tempat-tempat keramat, dan seni widya yang sarat dengan disiplin moral dan kesalehan keagamaan. Hal ini menjadikan Nuswantara/ Jawa sebagai tanah religius, area suci, regio-more, regio-sacra atau tanah keramat. Bumi keramat hanya bisa dihuni manusia yang juga keramat. Dan manusia keramat adalah manusia-manusia pencapai keluhuran ruhani dan kemuliaan akhlak .
Sistem penanda lainnya adalah terdapat dalam numenklatur (tata nama) raja-raja Nuswantara, khususnya Jawa. Petanda geologis -sebagaimana diterangkan di atas- menjadikan raja-raja Nuswantara/ khususnya Jawa, mengeksitasi diri menjadi manusia keramat kekasih Tuhan YME. Ia menjadi dewaraja yang bukan tiran dan bukan penindas rakyatnya. Melainkan dewaraja yang agnus, gembala, atau bocah angon bagi rakyatnya. Penyangga dan pengokoh bumi (baca: lempeng benua) dalam penderitaan religiusnya. Numenklatur raja Jawa menjadi penanda langsung dari petanda geologisnya. Beberapa kasus di bawah ini mendeskripsikan hal tersebut.
Samaratungga (732M) adalah gelar yang dikenakan kepada salah seorang raja jawa kuno dari wangsa Sanjaya. Numenklatur ini dapat diuraikan berdasarkan suku-suku kata sanskerta dan Kawi sebagai berikut.

Samaratungga= samara + rat + ratu + tung + tungga

Samara= yang dicintai, yang dikasihi (Tuhan). Rat= alam semesta, jagad mikro dan makro. Ratu= raja, narendra, sultan. Tung= ujung, pucuk (dunia). Tungga= tunggak, pasak, penyangga. Sehingga diperoleh makna dan aspek petanda sebagai di bawah ini.

Seorang yang dikasihi Tuhan yang mengemban tugas menjadi raja/ sultan. Raja/ sultan ini mengemban tugas sebagai penyangga/ pasak dunia yang terletak di area ujung dari dunia tersebut (Nuswantara/ Jawa).

Dalam situs-situs candi/ sandi seperti Sandi Gedhong Sanga (920M) dan Sandi Sambisari (850M), terdapat arca dan relief Durgha Mahesa-suramardhini. Jika kita perhatikan dengan seksama, ia memiliki 8 tangan, 4 kanan dan 4 kiri. Tangan kanan-1 menunjuk ke atas dan memegang lempengan ”dunia”. Suatu posisi tangan kanan yang menyangga dunia/ jagad.



Gb. 9. Durga Mahesasuramardini dan tangan kanannya

Seorang raja di masa Majapahit (abad 14M) bergelar Tribuwana Tunggadewi. Secara filologi sanskerta dapat diuraikan sebagai berikut.

Tribuwana Tunggadewi= tri + buwana + tungga + dewi

Tri= tiga. Buwana= jagad, dunia, peradaban. Tungga= tunggak, pasak, penyangga. Dewi= raja, ratu, narendra. Aspek petanda yang diperoleh adalah sebagai berikut.

Seorang raja yang membawa tugas untuk menyangga jagad, bumi, dunia, dalam ketiga bagiannya (dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah).

Raja di era Mataram Islam setelah Sinuhun Sultan Agung (abad 17M, lihat gambar di sebelah), bergelar Sultan Amangkurat. Secara filologis dapat diuraikan sebagai berikut.

Amangkurat= amangku + rat

Amangku= pemangku, penyangga, penopang. Rat= jagad, dunia baik mikro maupun makro. Sehingga diperoleh aspek petanda yang serupa dengan yang telah diuraikan di atas.

Seorang raja yang membawa tugas untuk menyangga jagad, bumi, dunia baik mikrokosmos (alam esoteris manusia) maupun makrokosmos (peradaban dunia).

Gelar pangeran di Mataram Islam masa palihan nagari (1755M) adalah Mangkubumi. Ia dapat diuraikan sebagai berikut.

Mangkubumi= amangku + bhumi

Amangku= pemangku, penyangga, penopang. Bhumi= bumi, jagad, peradaban, dunia. Sehingga diperoleh aspek petanda sebagai berikut.

Seorang raja yang membawa tugas untuk menyangga jagad, bumi, dunia.

Di Ngayogyakarta Hadiningrat sultannya bergelar Hamengkubuwana (HB, logonya sebagaimana gambar di samping, sejak 1755M s/d sekarang). Numenklatur ini dapat diuraikan sebagai di bawah ini.

Hamengkubuwana= hamengku + buwana.

Hamengku= memangku, menyangga, menopang. Buwana= bumi, dunia, peradaban. Sehingga diperoleh aspek petanda demikian ini.

Seorang raja yang membawa tugas untuk menyangga jagad, bumi, dunia.


Patih di Ngayogyakarta Hadiningrat bergelar Sri Paku Alam.

Sri Paku Alam= sri + paku + alam

Sri= Yang Mulia, yang terhormat. Paku= pasak, patok, pen. Alam= alam, jagad, dunia, bumi. Aspek petandanya adalah sbb.

Orang terhormat yang dimuliakan yang berperan juga sebagai pasak, penata, pengokoh jagad, bumi, dan dunia.

Di Surakarta Hadiningrat sultannya bergelar Sinuhun Paku Buwana. Uraiannya adalah sbb.

Paku Buwana= paku + buwana


Paku= pasak, pen pengokoh, pen penguat. Buwana= bumi, dunia, peradaban. Aspek petandanya adalah sbb.

Sinuhun raja yang berperan juga sebagai pasak, penata, pengokoh (stabilisator) jagad, bumi, dan dunia.

Raja berikutnya di Surakarta Hadiningrat adalah Sinuhun Mangku Negara. Uraian gelar ini adalah sbb.

Mangku Negara= mangku + negara

Mangku= Hamengku= memangku, menyangga, menopang. Negara= negeri, negara. Sehingga diperoleh aspek petanda sebagai berikut.

Seorang raja yang bertugas untuk menyangga jagad, bumi, dunia.

Fungsi-fungsi mundial raja-raja Nuswantara/ Jawa demikian ini terdeskripsikan pula dalam sesanti-sesanti, atau noblese obligue, mereka. Panembahan Senapati Ing-Alaga Mataram, sultan pertama kerajaan Islam Mataram, memiliki sesanti hamemangun karyenak tyasing sesami.

hamemangun karyenak tyasing sesami= hamemangun + kari + enak + tyas + ing + sasami

Artinya,

membangun negeri yang sentosa lahir-bathin, negeri kenyamanan bagi nurani manusia dan sesamanya. Yakni sesama makhluk Tuhan YME.

Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat, HB VIII, memiliki juga sesanti hamemayu hayuningrat.

hamemayu hayuningrat= hamemayu + hayu + ning + rat

Hamemayu= menselamatkan dan mensejahterakan. Hayu= keselamatan, kesejahteraan. Ning= kesucian, kejernihan. Rat= jagad, dunia baik mikro maupun makro. Sehingga diperoleh aspek petanda sbb.

membangun dan mempertahankan negeri yang sentosa lahir-bathin, negeri tempat keselamatan nurani manusia dan sesamanya.

Secara garis besar numeklatur di atas berarti memandu negeri yang sejahtera lahir dan batinnya, mikro-makro kosmosnya, manusia beserta alam dan habitusnya. Sebuah negeri spiritual penyangga kokoh bagi lempeng dunia dan peradaban manusia. Simbolisasi logologinya misalnya terdeskripsikan juga dalam simbol-simbol kerajaannya.
Penanda lainnya adalah pada struktur gelar raja-rajanya. Misalnya Sayidin Panatagama, Ngabdurrahman, Kalipatulah fil ardi, dll. Atau pada gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma, yang diperoleh dari Syarif Makkah di tanah haram, yakni Sultan Mataram Abdul Muhammad Maulana Matarami.
Pada area-area lainnya di Nuswantara tentu terdapat penandaan yang serupa. Namun dalam dalam kesempatan terbatas ini, saya mengambil fenomena di Jawa sebagai sistem penanda representatif.

***

(2)
Fakta Signifikasi Nuswantara/ Jawa
-Dari Penanda ke Petanda-

Operasi semiotik kedua ini akan menggunakan beberapa nama sebagai preparasi atau obyek investigasi. Dari fakta signifikasi aspek penanda ini diharapkan muncul pengertian-pengertian maknawiyahnya. Prinsip operasinya adalah decoding atau penguraian kode-kode etimologis tersebut berdasarkan konteks budaya dan bahasanya, yakni sanskerta. Dan sistem budaya-bahasa ini independen dan otonom sebagai budaya-bahasa. Ia tidak memiliki konotasi dan relasi khusus dengan agama Hindu dan Buddha, sebagaimana budaya-bahasa lainnya di dunia. Sansekerta merupakan sistem budaya-bahasa yang dapat digunakan dan menjadi signifikasi bagi agama, idealisme, weltanschaung apapun, termasuk Islam.
Dengan kata lain, sistem signifikasi budaya-bahasa sansekerta tidak lantas berarti “mengandung” ajaran Hindu-Buddha. Ia bisa saja merupakan signifikasi dan simbolisasi ajaran Tao, Konfusius, Nasrani, dan Islam, sebagaimana bahasa Arab, Ibrani, China, dll. Preposisi dalam investigasi ini diawali dengan membebaskan sistem budaya-bahasa sanskerta dari anggapan tak berdasar bahwa sansekerta adalah milik dan sama dengan ajaran agama Hindu-Buddha.



Nuswantara

Saya akan menguraikan kata nuswantara ini kepada unsur-unsur etimologinya yang paling elementer dan paling mungkin.
Pertama, Nuswantara diuraikan menjadi dua suku kata yakni nuswa dan antara.

Nuswantara = nuswa + antara

Nuswa= negeri kepulauan, negeri perairan yang kaya dengan budaya maritim. Antara= terletak di “antara” dua lautan, dua samudra, dua bangsa, dua peradaban. Namun makna yang diperoleh dari investigasi ini hanya memberikan deskripsi umum saja. Maka dapat dilakukan investigasi lebih renik lagi terhadap etimologinya.
Kedua, berdasarkan karakternya, bahasa sanskerta memiliki sifat persenyawaan, artinya cenderung menyatu-padukan beberapa kata menjadi satu kata yang paling mungkin dan paling sederhana. Dari karakter ini, maka saya akan menguraikan kata di atas menjadi:

Nuswantara = nuswa + swa + anta + tara

Swa= mandiri, berdikari. Anta= kesatriya suci, kesatriya pemberani, satriya-pinandhita, kesatriya pengemban agama. Tara= orang yang dimuliakan, disucikan, diagungkan, dihormati.
Makna yang diperoleh dari operasi penguraian struktur kata dalam bahasa sanskerta ini memberikan kedalaman tertentu. Ia yang memunculkan karakter area nuswantara yang spesifik dan abstraksi idealisme dan weltanschaungnya. Sehingga ia bisa dimaknai sebagai aspek petanda:

Suatu negeri perairan, kepulauan, bertradisi maritim yang otonom dan mandiri. Di dalamnya menjadi tempat bermukim para kesatriya pinandhita, kesatriya suci pengemban agama suci (Islam ). Mereka adalah manusia-manusia agung karena keberaniannya, keluhuran ruhaninya, dan kemuliaan budi pekertinya, serta karena kehalusan budaya-bahasanya.

Ngayogyakarta Hadiningrat

Nama Ngayogyakarta Hadiningrat bisa diuraikan menjadi suku-suku kata dalam bahasa Kawi, sebagai berikut di bawah ini.

Ngayogya + karta + hadi + ning + rat

Ngayogya= ngayodya (Kawi), ayodya (sansekerta)= tak bisa dikalahkan . Karta= negeri. Hadi= adi, luhur, tinggi. Ning= suci, jernih, cemerlang. Rat= jagad, buana, alam (mikro/ makro-kosmos). Maka kata tersebut dapat dikenali aspek petandanya sebagai berikut.

Negeri yang tak mungkin terkalahkan, di mana/ karena alam, telatah, dan manusianya suci dan luhur.

Pemaknaan di atas akan semakin jelas bila dikaitkan dengan nama kota Surakarta Hadiningrat. Di mana uraiannya adalah:

Surakarta= sura + karta

Sura= anta= para kesatriya gagah dan pemberani. Maka diperoleh aspek petanda sebagai berikut.

Negeri yang para penghuninya adalah para anta, tempat bermukim para kesatriya pinandhita, kesatriya suci pengemban agama suci (Islam).

Maka Ngayogyakarta dan Surakarta memang sepasang negeri kerajaan putra-putri Mataram Islam. Para penghuninya adalah para kesatriya Islam pemberani, sehingga kerajaan Islam tersebut tak mungkin terkalahkan. Ini adalah das Sollen nya, aspek petandanya.

Mataram

Mataram dalam beberapa catatan berarti medar-arum. Artinya tersebarnya keharuman. Ia searti juga dengan ngeksi-ganda. Artinya, terlihat keharumannya. Namun investigasi lebih jauh dapat dilakukan dengan menguraikan numenklatur mataram sebagaimana terdapat pada nisan makam Pangeran Dipanegara seda Makassar (1852M) di Sulawesi Selatan (lihat gambar di sebelah). Tertulis dalam huruf Arab pegon, yakni kalimat berbahasa Jawa yang ditulis dengan huruf Arab. Kalimatnya adalah sebagai berikut:

Punika pasareyanipun Kangjeng Gusti Pangeran Dipanegara Abdul Hamid mathaara-m seda Makasar

Mataram diuraikan dari bahasa Arabnya,

Mathaaram= mathaar + m

Mathaar= landasan untuk mengudara, landasan untuk terbang, landasan untuk penyerbuan musuh, negeri basis untuk bertahan dan menyerbu musuh. m= mim mamba, yakni huruf hijaiyah mim yang berarti episentrum, pusat. Aspek petanda ini cukup relevan dengan beberapa fakta.
Pertama, jika dikaitkan dengan asma dalem Panembahan Senapati ing Alaga Mataram, sultan Mataram pertama (jumeneng 1582M, lihat gambar sebelah). Beliau tidak mengenakan gelar Sultan Mataram, melainkan senapati. Artinya Panglima Perang di medan laga Mataram. Mataram berdiri pasca penyerbuan armada Laut Sultan Trenggana (Demak Bintara) ke Malaka. Ia mencegat armada laut Portugis. Pendirian benteng kerajaan Mataram Islam di Kotagedhe adalah tahun 1506M. Sedangkan pengangkatan Panembahan Senapati tahun 1582M, bertenggang waktu 76 tahun. Artinya, beliau terkait langsung dengan invasi VOC ke Batavia tahun 1602M (20 tahun kemudian).
Kedua, terkait dengan sultan Mataram Islam ke-3 yakni Sinuhun Sultan Agung Hanyakrakusuma yang menyerbu VOC di Batavia tahun 1628-29M.
Ketiga, terkait dengan perlawanan pasukan gerilya dari Pangeran Mangkubumi terhadap Belanda di Jawa (hingga 1755M).
Keempat, terkait dengan perlawanan Pangeran Dipanegara dalam peperangan Jawa melawan Belanda 1825-30M. Gelar beliau adalah Sultan Abdulkamid Herucakra Kabiril Mukminin Sayidin Panata Agama Khalifatullah Jawa .
Kelima, terkait dengan semangat perlawanan Sinuhun Sultan Hamengku Buwana Kaping IX dari Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dalam melawan Belanda dan melindungi keutuhan RI saat itu.


Jawa Dwipara

Dalam serat Jangka Jayabaya tertera numeklatur yang dikaitkan dengan nama Nuswantara di masa prasejarah yakni Jawa Dwipara. Dalam serat itu dituliskan bahwa dwipara artinya sifat tuhan yang mustahil terduakan atau terjamakkan. Dengan demikian kata jawa terkait langsung dengan sebutan untuk tuhan yang esa. Kata jawa dapat ditinjau dari budaya-bahasa semitik yang merupakan rumpun budaya ketuhanan sejak jaman purba. Ia dapat diasalkan kepada bahasa Ibrani: Yahweh, atau jehova. Budaya-bahasa rumpun semitik lainnya adalah Arab. Jawa dapat dikaitkan dengan kata Arab: ya-huwa. Evolusi fonologinya dapat diuraikan menjadi:

Yahweh-el-ehud  jehova-el-ehud  ya-huwa-al-ahad
 jahuwa dwipara.

Di mana dwipara= el-ehud= al-ahad= sang Hyang Tunggal= sang Hyang Widhi Wase. Dan Yahweh= jehova= yahuwa= jahuwa= jawa. Dengan demikian Jawa Dwipara dapat mengandung aspek petanda sebagai “dia Tuhan Yang Maha Tunggal”.
Operasi semiotic ini dapat dikaitkan dengan fakta-fakta dari prasasti Tarumanagara di Jawa Barat. Tapak kaki Purnawarman (395-434 M) pada prasasti Tarumanagara secara langsung menunjukkan korelasi dengan budaya simbol dunia saat itu. Tradisi menyematkan tapak kaki pada batu/prasasti ini juga terdapat pada tradisi simbol Islam pra-Muhammad, yakni Maqam Ibrahim. Atsar Nabi Ibrahim (3500 SM, abad 34 SM) ini menun-jukkan prakarsanya dalam membangun dan melestarikan baitullah Ka’bah di Haramain.
Di samping itu tindakan simbolik serupa dilakukan Nabi Muhammad SAWW (571-632M) sebagaimana ter-dapat pada batu tapak Nabi Muhammad SAWW di museum Nasional Turki, di Masjid Jami’ Newdelhi, India, dan di Mesir. Di samping itu di Nuswantara, di bekas area kerajaan Tidore, Maluku, juga terdapat situs yang dipercayai masyarakat setempat sebagai tapak Nabi Muhammad SAWW .



Searah jarum jam: Tapak Nabi Ibrahim (3500 SM), tapak Purnawarman (395-434M), tapak Nabi SAW (571-632M) di Mesir, tapak Nabi SAWW di Newdelhi, dan tapak Nabi SAWW di Museum Turki.
Setidaknya kasus ini menunjukkan kesamaan aspek petanda yang menjadi inspirasi kultural mundial –bahasa filsafatnya: zeitgeist- bagi tindakan-tindakan simbolik seperti ini. Fenomena di atas terkait dengan fakta terdapatnya tradisi Abrahamik di Nuswantara bahkan sebelum penetrasi Islam ke Nuswantara. Fenomena ini tertulis dalam dokumen kaisar Yixi (411M) di China. Di sana tertulis:

Fa Xian jaman Kaisar Yixi (411M) dalam Catatan mengenai Negeri-negeri Buddha menuliskan: kami tiba di Yapoti (Jawa/Sumatera). Di Yapoti agama Braham (Ibrahim/ Abraham) sangat berkembang, sedangkan agama Buddha tidak seberapa pengaruhnya .

***


(1)
Serat Rerepen
Karya Sinuhun Pakoe Boewana (PB) Kaping X

Pangkur
(1)
Pamundhut hingsun mring sira
Santana lan kawula kabeh hiki
Hambak taler Jawa tuhu
Tan hala haprayuga
Gayuh suprih yem tentrem hayuning srawung
Wajib netepana warah
Wuruking agama suci

(Nasehatku untuk kalian
Kerabat dan rakyat semuanya ini
Yang menjalani takdir Jawa
Tidak buruk, bahkan utama
Mengharap ketentraman kehidupan sesame
Wajib menetapi ajaran
Petunjuk agama suci)
(2)
Narendra miwah pujangga
Wali lan pandhita jatine kaki
Karsaning Kang Maha Agung
Gunggunging Islam-Jawa
Marmane langgengna tunggal loro hiku
Ja-hana hingkang tinggal Jawa
Lan ja-hana hadoh agami

(Para raja dan para pujangga
sesungguhnya para wali dan ulama anakku
Atas Kehendak Yang Maha Agung
Agunglah Islam-Jawa
Karena itu lestarikanlah dwitunggal itu
Jangan sampai ada yang semata Jawa
Dan jangan sampai ada yang menjauhi agama)
(3)
Tinulis sajroning Qur’an
Hantepana dadya laku ban hari
Miwah wanguning Kadhatun
Tindakna klawan takwa
Wit kang mangkana sira jeneng geguru
Ratu habudaya Jawa
Wali panuntun agami

(Yang telah tertulis dalam Alqur’an
Dihayati menjadi perilaku sehari-hari
Demi indahnya sebuah pemerintahan
Jalankanlah dengan takwa
Karenanya hendaklah engkau berguru
Para raja yang berbudaya Jawa
Juga adalah para wali penuntun agama)

***


(2)
Ilmu Kang Kaesthi Kangjeng Sunan Prawata

Pucung

(34)
Sampun tamtu punika sasana ulun
Kang aran Pangeran
Kang yogya kita ngengeri
Dunya akhir kawengku salaminira
(Tentunya itulah haribaanNya
Yang bernama Tuhan
Tempat engkau berbakti yang semestinya
Dunia akhir tercapai selama-lamanya)
(35)
Denta ulun salat masjid datan ayun
Punika wong Arab
Balik tiyang Jawi
Salat kula inggih cara bangsa Jawa
(Karenanya sholat saya tak hanya di masjid
Itulah orang Arab
Sedangkan orang Jawa
Salat saya juga menggunakan cara orang Jawa)
(36)
Siyang dalu amba Samadhi ing kalbu
Ngesti Wisnu Kresna
Tuwin Sang Hyang Sidajati
Ingsun gayuh campur tunggal lawan kita
(Siang malam hamba selalu khusyuk dalam kalbu
Mengharapkan Wisnu-Kresna
Serta Sang Hyang Sidajati
Kiranya dapat menyatu denganMu)

(37)
Gih punika amba sebut gama putus
Ran agama Budha
Tegese anganggep budi
Jatinipun Budha Islam padha uga
(Itulah yang hamba sebut sebagai agama terakhir
Disebut juga sebagai Budha
Artinya memuliakan budi pekerti
Maka sesungguhnya Budha adalah Islam)
(38)
Sang Hyang Wisnu Arab tegesipun Rasul
Yen Kresna Muhammad
Allah Sang Hyang Sidajati
Mung bedane tembung Arab lawan Jawa
(Sang Hyang Wisnu dalam bahasa Arab disebut Rasul
sedangkan Kresna adalah Muhammad
Allah disebut Sang Hyang Sidajati
Hanya perbedaan antara bahasa Arab dan bahasa Jawa)

Referensi


1. Christian Pelras, Manusia Bugis, Penerbit Nalar dan Ecole francais d’Extreme-Orient, Jakarta, 2006.
2. -, I la Galigo.
3. Sastrapratedja, M, Manusia Multidimensional, PT Gramedia, 1982.
4. Octavio Paz, Levi Strauss, Empu Anthropologi Struktural, LKIS, 1997.
5. Corbin, Henry, Temple and Contemplation, KPI, London and New York, in assosiation with Islamic Publications, London, 1986.
6. Sumardjo, Jakob, Arkeologi Budaya Indonesia, Pustaka Qalam Yogyakarta, Nopember 2002.
7. James Danandjaja, Antropologi-Psikologi, Teori, Metode, dan Sejarah Perkembangannya, Rajawali Press, Jakarta, Cet. I, 1988, hal. 51.
8. Roger Garaudy, Evaluasi Kritis Filsafat Barat di Abad Ini, dalam Islam dan Peradaban Barat Modern, Penerbit Risalah Bandung, Cet I, 1986, hal. 43.
9. Kees Berten, Panorama Filsafat, pustaka Atma Jaya, 1986.
10. Peter L. Berger, Langit Suci, Agama sebagai Realitas Sosial, LP3ES, Cet. 1, 1991.
11. Dr. Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat Jawa, penerbit Balai Pustaka Jakarta dan Media Wiyata Semarang, cet. 2, 1992.
12. Roger Garaudy, Promesses de’l Islam.
13. Sayyid Husein Nashr, Pengetahuan dan Kesucian, penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet. I, Januari 1997, hal. 82, 83.
14. Kees Bertens (ed.), Fenomenologi Eksistensial, pustaka Atmajaya, 1986.
15. Ali Shariati, Marxism and Other Western Fallacies, Berkeley, 1980. Terjemahan Indonesianya diterbitkan oleh Mizan, cetakan ke 6, 1996.
16. Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, Gramedia, Jakarta,1981.
17. Faruqi, Ismail R., Lois Lamya, Atlas Kebudayaan Islam, Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur, 1992.
18. JB Suryaganda dan TR Parmadiningrat, Nyengkuyung Hajatdalem Sadranan, Menggali Kembali Tradisi Sadranan di Kagungandalem Pasareyan Wotgaleh, Yogyakarta, 2007.

***


Lampiran:
Budaya “Eksotik” Tradisional
Dalam Pandangan Claude Levi-Strauss

Suatu wawancara dengan Claude Levi-Strauss yang diangkat dari Majalah Spiegel, oleh Dieter Brumm, Karla Fohrbeck, Gustav Stern dan Wolfgang Gust. Der Spiegel, Ham¬burg, No. 53/1971). Diterjemahkan dari “Der Humanismus bedroht den Menschen", Ein SPIEGEL-Gespraech. Dalam: Claude Levi Strauss, Mithos und Bedeutung. Vortraege. Frankfurt, Suhrkamp Verlag, es 1027, Neue Folge Band 27, 1980, him. 219-235. Sebagian teks wawancara tersebut adalah seperti terlampir di bawah ini.

Spiegel:
Tuan Levi-Strauss, orang menyatakan bahwa dengan menyelidiki bangsa-bangsa primitif Anda sebetulnya melarikan diri ke dalam suatu dunia yang utuh, sedangkan untuk masyarakat modern Anda meramalkan semacam masa senja (Goeterdaemmerung). Apakah Anda pesimis tentang kebudayaan?

Levi-Strauss:
Saya tidak takut untuk mengatakan sejak awal bahwa saya memang sangat pesimis. Bila saya memilih mengabdikan diri di bidang penelitian masyarakat eksotis yang sangat berbeda dengan masyarakat modern kita, saya memilihnya karena saya merasa kurang senang dengan abad kedua puluh ini, yaitu masa kelahiran saya.

Spiegel:
Apa dasar pesimisme Anda ?

Levi-Strauss:
Agaknya Anda merepotkan saya dengan menanyakan hal-hal yang tentangnya saya merasa kurang kompeten. Benarlah bahwa saya tidak terlalu optimis tentang masa depan umat manusia yang jumlahnya terus bertambah pesat, sehingga manusialah yang sebenarnya menyesakkan diri sendiri sebelum hal-hal yang paling esensial seperti udara, air, ruang dan sebagainya mulai berkurang.

Spiegel:
Beberapa filsuf dewasa ini mengecam Anda karena Anda menganggap aturan masyarakat modern bersifat kurang manusiawi dibandingkan masyarakat primitif.

Levi-Strauss:
Nah, saya bukan seorang filsuf. Kebetulan karier membuat saya dan sejumlah rekan etnolog menjadi saksi dari suatu cara hidup yang sungguh berbeda dari cara hidup kita yang sebagian besar bahkan telah melenyapkan
cara hidup primitif. Saya merasa berkewajiban secara moral untuk memberi kesaksian, yaitu membaktikan seluruh hidup dan tenaga demi tercapainya bentuk ma¬syarakat yang memungkinkan bangsa manusia berkembang selama ribuan tahun, tetapi yang kini mulai lenyap karena kita sendiri memang menghendaki supaya hal itu terjadi

Spiegel:
Tetapi bagaimanapun Anda membandingkan masyarakat primitif yang Anda pelajari dengan masyarakat modern.

Levi-Strauss:
Sebenarnya kedua tatanan masyarakat itu tidak dapat lagi dibandingkan. Tidak dapat dibayangkan sama sekali bahwa kita dapat kembali pada keadaan primitif atau menghidupkannya kembali sebab justru kini kemungkinan bagi adanya masyarakat "eksotik" ditiadakan.
Spiegel:
Jadi, apakah kita tidak dapat mengatakan bahwa ma¬syarakat primitif bersifat lebih manusiawi dan mungkin lebih "progresif” daripada tatanan masyarakat modern dewasa ini ?

Levi-Strauss:
Menurut hemat saya, tidak dapat diragukan bahwa ma¬syarakat primitif bersifat progresif sebab akhirnya ma¬syarakat primitiflah yang menemukan sejumlah karya seni budaya yang masih menjadi landasan bagi kita de¬wasa ini. Misalnya, penggunaan api, pembuatan tembikar, tenunan, cara mengolah tanah, cara menjinakkan binatang, semuanya itu diupayakan oleh orang-orang pada zaman dan kurun sejarah yang setara dengan seluruh masyarakat "eksotik" yang kini masih ada.

Spiegel:
Hal itu hanya menyangkut perkembangan teknis. Namun, diskusi filosofis yang terjadi antara Anda dan beberapa pemikir Marxis, seperti juga Sartre, bertitik tolak dari fakta bahwa Anda membandingkan masyarakat primitif dan masyarakat modern atas dasar titik pandang mengenai peranan yang dimainkan oleh perikemanusiaan dan kesadaran historis. Orang mengkritik Anda sebagai bersikap konservatif karena Anda berpendirian bahwa dalam sejarah tidak terdapat hal perikemanusiaan.

Levi-Strauss:
Anda melontarkan terlalu banyak pertanyaan secara serentak. Baiklah saya akan menyoroti pertanyaan terakhir, yaitu mengenai soal kemajuan. Fakta tentang kemajuan teknologis memang ada. Hal itu sedemikian jelas sehingga saya tidak perlu lagi membahasnya. Namun, hal yang menurut hemat saya sama jelas ialah bahwa kemajuan teknologis itu jugalah yang menyebabkan manusia terpaksa mengorbankan sejumlah nilai yang terikat pada masyarakat "eksotik". Dan tidak terdapat kriteria filosofis maupun moral yang memungkinkan kita mengatakan bahwa yang ini lebih baik daripada yang itu.

Spiegel:
Tetapi apakah kita dapat melepaskan diri dari upaya mengembangkan perilaku yang lebih manusiawi dalam masyarakat dewasa ini ?

Levi-Strauss:
Di mana-mana perikemanusiaan terutama terdiri dari relasi antarpribadi yang saling mengenai. Itulah sebabnya mengapa hidup dalam suatu kelompok kecil bersifat lebih manusiawi daripada dalam sebuah kota besar karena manusia bukan dipandang sebagai nama dan nomor semata-mata, melainkan sebagai seorang pribadi dengan watak dan temperamen khas yang dikenali oleh semua orang lainnya. Namun Anda menghadapkan saya pada berbagai masalah yang tidak saya gumuli, sebab jenis masyarakat yang saya pelajari sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan masyarakat modern kita dan juga karena saya tidak perlu menganjurkan berbagai resep untuk memperbaiki tatanan masyarakat kita sendiri. Ada orang lain yang menamakan diri pakar sosiologi atau politikus yang berurusan dengan hal itu. Saya bukan seorang sosiolog atau politikus.

Spiegel:
Sartre dan beberapa pengikut Marx lainnya mencela Anda karena strukturalisme mengandung suatu sikap berpaling dari humanisme. Anda mengenal tuduhan yang bagi Anda tentunya bukan hal baru.

Levi-Strauss:
Saya berpendapat bahwa celaan tersebut didasarkan pada suatu kekeliruan ganda, yaitu kekeliruan teoretis dan kekeliruan praktis. Kekeliruan teoretisnya ialah bahwa saya belum pernah menyangkal siapa pun untuk mempelajari manusia pada tingkat penelitian yang dipilihnya. Namun, yang saya bantah adalah pendirian yang disebut monopolistik itu, yakni manusia hanya dapat didefinisikan dan dipelajari pada satu tingkat tunggal saja.
Spiegel:
Tetapi keputusan memilih satu tingkat tertentu juga merupakan suatu prakeputusan dalam penelitian.

Levi-Strauss:
Jika Anda memandang suatu tetes air dengan mata telanjang, Anda tidak akan melihat apa-apa. Namun jikalau anda menempatkan setetes air itu di bawah sebuah mikroskop elektron yang membesarkannya 50.000 kali, Anda akan melihat hal-hal yang berbeda sama sekali. Demikian pula halnya dengan usaha mempelajari ma¬nusia. Mereka yang menamakan dirinya Humanis me¬mandang manusia menurut sudut pandangan sama seperti orang memandang setetes air yang diperbesar sedikit. Tampaklah sejumlah binatang kecil sebagai makhluk individual yang memang ada, saling memerangi dan saling mencintai. Namun, kita tahu bahwa ilmu hanya ada karena kita telah mengerti bahwa se¬jumlah fenomena tidak bisa dipandang dari satu tingkat saja. Kemampuan pembesaran yang tinggi menyebabkan bahwa makhluk hidup tadi hilang sama sekali. Lantas yang kelihatan hanyalah molekul-molekul saja. Jika pembesaran mikroskop ditingkatkan lagi, Anda dapat mengamati sejumlah atom di balik molekul-molekul tadi.

Spiegel:
Kalau demikian, apakah Strukturalisme hanya merupakan suatu metode penelitian dan tidak mempunyai teorinya sendiri ?

Levi-Strauss:
Bukan demikian. Pada dasarnya hal itu hanya menyangkut suatu sikap ilmiah tertentu. Cukuplah mengenai soal kekeliruan teoretis. Namun, masih terdapat aspek kedua, yaitu aspek praktis. Akhirnya, kita harus memberi pertanggungjawaban tentang soal bahwa sikap humanistik yang absolut dan yang meraja sejak zaman Renaisans, dan rupanya berasal dari agama-agama besar di Barat, membawa akibat yang sangat katastrofal. Selama beberapa abad Humanisme menyebabkan peperangan, pemusnahan, kamp konsentrasi, dan pembasmian berbagai jenis makhluk hidup. Kita mempermiskin alam. Sikap yang berlebih-lebihan itulah yang mengancam manusia sendiri, yaitu sikap percaya bahwa dengan sewenang-wenang ia dapat memiliki dan menguasai segala-galanya

Spiegel:
Orang mempersalahkan strukturalisme, bukan hanya sebagai Anti-Humanisme, melainkan juga sebagai upaya menyisihkan sejarah, yakni suatu usaha yang pada dasarnya tidak bersifat antihistoris.

Levi-Strauss:
Celaan itu sama seperti celaan lainnya yang kurang beralasan. Kami kaum etnolog menelaah masyarakat yang sejarahnya sama panjang dengan sejarah masya¬rakat kita. Hanya masyarakat tradisional dan eksotik itu tidak memperhatikan sejarahnya. Oleh karena itu, mereka tidak memiliki arsip lewat mana kita dapat menemukan kembali seluruh sejarah masyarakat itu. Untuk mempelajarinya, kita harus menciptakan suatu metode yang dapat menggantikan ketiadaan sejarah tersebut. ltulah situasi yang dihadapi oleh seorang etnolog, ia merasa sungguh puas kalau dapat menggunakan unsur-unsur sejarah yang masih tersisa. Namun, yang saya bantah ialah bahwa sejarah dianggap sebagai suatu hal istimewa diantara segala kemungkinan pengetahuan. Tentu saja sejarah merupakan suatu sarana pengetahuan yang istimewa, sejauh menyangkut tatanan masyarakat Barat modern yang mendefinisikan diri terhadap sejarah. Saya tidak percaya kita dapat mengatakan bahwa hal itu biasanya demikian. Di sini perselisihan hanya dapat muncul dengan mereka yang mengangkat metodenya sendiri sebagai satu-satunya metode yang sah dan benar.




Spiegel:
Profesor Levi-Strauss, dalam buku Tristes Tropiques (Paris, 1955) Anda secara mencengangkan merujuk pada Richard Wagner. Apakah Anda menaruh perhatian pada Richard Wagner, khususnya di bawah aspek "Goetterdaem-merung?"

Levi-Strauss:
Sering saya menghabiskan seluruh pekan dengan mendengarkan siaran langsung Wagner dari Bayreuth. Dalam jilid keempat dan terakhir dari Mythologiques (1971) yang diterbitkan dengan judul I’homme nu (Manusia telanjang), saya menjelaskan alasannya. Saya mengatakan bahwa pada saat runtuhnya mitologi sebagai bentuk ekspresi yang dominan, semua struktur pikiran mitis diambil alih oleh musik. Isi dan pesan dari mitos beralih ke Roman, sedangkan bentuk mitos diambil alih oleh musik.

Spiegel:
Kapan hal itu terjadi?

Levi-Strauss:
Gejala itu bermula dari Bach, berkembang pada para pengikutnya dan mencapai bentuknya yang sadar pada Wagner. Wagnerlah yang dengan suatu intuisi mengagumkan dapat memahami bahwa mitos dan musik semakin saling mendekati. Seakan-akan merupakan takdir mereka untuk bersatu padu. Secara luar biasa Wagner menciptakan jenis perpaduan tersebut.

Spiegel:
Jadi, benarkah Wagner adalah seorang komponis yang Strukturalistis ?

Levi-Strauss:
Seluruh teori mengenai "Leitmotif" (nada/ide dan sebagainya yang selalu diulang) itu sendiri bersifat strukturalistis. Dan sebagaimana Anda ketahui, Struktural¬
isme sebenarnya memang berasal dari Jerman.

Spiegel:
Apakah Anda dapat menjelaskan pikiran itu secara lebih rinci ?

Levi-Strauss:
Orang selalu berkata kepada saya bahwa di Jerman orang merasa sangat segan terhadap Strukturalisme. Namun, apabila kita berusaha menelusuri proses perkembangan, hingga pada saatnya yang paling awal, di manakah Strukturalisme berawal di dunia modern ? Di Eropa, Duerer merupakan awalnya. Dengan terbitnya Vier Buecher von menschlicher Proportion (1928) dan dengan gagasan bahwa kita dapat bertolak dari satu bentuk wajah dan mencapai bentuk wajah yang lain melalui transformasi (pengubahan bentuk) geometris, maka Strukturalisme berawal. Dan oleh Goethe. Dalam karyanya tentang morfologi tumbuhan (1790), dijelaskan bahwa daun dan bunga terbentuk berdasarkan transformasi antara yang satu terhadap yang lainnya, dan pikiran itu bersifat Strukturalistis. Karena itu, sama sekali tidaklah mengherankan bahwa Wagner berada dalam deretan turunan itu.

Spiegel:
Anda mengatakan juga bahwa untuk mengurangi sikap intoleransi tidaklah cukup dengan mengubah ide-ide saja. Kita juga harus mengubah segala syarat alamiah
dalam hubungan antara manusia modern dan alam. Dan bagaimana pandangan Anda mengenai masa depan semua masyarakat primitif yang masih tersebar di dunia ?

Levi-Strauss:
Nasib semua masyarakat primitif itu ialah bahwa mereka akan runtuh dan hilang lenyap. Hal itu membuat saya menjadi sangat sedih.
***
Tentang Penulis

Herman Sinung Janutama(42), adalah koordinator pada Kempalan Pangangsu Kawruh ”Tjap Orang Djadzab” Ngayogyakarta Hadiningrat dan Deputy pada Institute of Philosophy ”Falsafatuna” Jakarta. Diwawancarai Majalah Femina untuk edisi khusus awal tahun 2008, mengenai outlook dan prediksi untuk Indonesia tahun 2008. Pengalaman bersekolah di FMIPA UGM Yogyakarta, Jurusan Fisika Murni, dan UIN Suka Yogyakarta, Fakultas Filsafat.
Karya tulis yangtelah diterbitkan adalah Pisowanan Alit. Sedangkan yang telah diterbitkan secara indie antara lain: Dikiran Pujabekten 1, Dikiran Pujabekten 2, Premis-premis Pembacaan Khasanah Kebudayaan Jawa dan Nuswantara, Ecce Dialecticus - Dialectico In Traditio Demonstrata, Pierre Bourdieu - In Mea Demonstrata, Meditasi atas Modernitas. Saat ini sedang menyelesaikan buku Direktori Makam Kuno dan Tempat Keramat, Kesultanan Majapahit, Pisowanan Pamenang, dan Kyahi Achmad Dachlan dan 17Ajarannya.
Penulis mengasuh forum diskusi spiritualitas di kantor Falsafatuna, Kotagede, Ngayogyakarta Hadiningrat, setiap Jum’at sore (2 mingguan) bersama rekan-rekan terutama Mas Hartono Munandar (Hangno). Forum tersebut dihadiri berbagai kalangan pemerhati budaya di Ngayogyakarta Hadiningrat.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar