Senin, 08 Maret 2010

Kekosongan

Kekosongan / Sunyata <> Nihilisme
• Posted by Thomas on March 11, 2009 at 12:10am in Umum (Belum dikategorikan)
• Add as Friend View Discussions
Dalam kitab Kejadian di Alkitab, juga tertulis bahwa awal segala sesuatu adalah kekosongan... Lau-tze dalam buku Tao Teh Cing juga mengatakan hal yang sama bahwa segala sesuatu, baik yang ada dan yang tiada berasal dari kekosongan (Tao)... Dan kekosongan itu selalu ada, dan hanya bisa dialami (lewat meditasi), tidak bisa dikonseptualisasikan dengan kata-kata atau apapun juga...

Buku The Joy of Living menarik bagi saya karena memadukan tradisi 2500 tahun meditasi Buddhis dengan gagasan sains mutakhir. Sejauh pengetahuan saya, untuk memahami diri atau pikiran - tradisi meditator Buddhis adalah tradisi tertua di dunia yang secara khusus mengeksplorasi diri dan pikiran manusia. Saya tergoda menyebutnya sebagai guru/ibu/akar bagi segala ilmu sains pikiran dan psikologi modern. Hal ini terlihat dengan proyek-proyek sains riset kerja sama pakar ilmu pengetahuan dengan meditator Buddhis. Di saat sains masih berusaha mengkonseptualisasikan, meditasi sudah sejak dahulu melampaui segala konsep.

Ada cerita dimana ayah dari YM Rinpoche, Tulku Urgyen Rinpoche, yang lupa dibius saat operasi bedah perut, dan saat dokter sadar akan hal itu - beliau meminta mereka melanjutkan operasi sampai selesai. Bukan pakai ilmu sakti, tenaga dalam, atau mantra apapun, tapi hanyalah sekadar hasil praktek meditasi kesadaran bertahun-tahun: otot, organ, dan saraf menunjukkan respons yang disebut sakit, tapi tidak ada si aku yang merasa disakiti...

YM Rinpoche menjelaskan pencapaian Buddha Gautama sebagai berikut : "a fundamental awareness that was unchanging, indestructible and infinite in scope... which had previously been limited by dualism that deeply rooted in the structure and function of the brain."

---

Wujud adalah kekosongan,
Kekosongan adalah wujud.
Kekosongan tidak lain adalah wujud,
Wujud tidak lain adalah kekosongan.
- Buddha, Sutra Hati

Wujud dan pikiran ada seperti api dan panas.
- Orgyenpa, Mahamudra: The Ocean of Definitive Meaning

---

Dari Buku The Joy of Living, Yongey Mingyur Rinpoche & Eric Swanson
Kutipan sebagian dari Bab 4. Kekosongan : Realitas di balik kenyataan

Kekosongan adalah dasar yang membuat segala sesuatu menjadi mungkin.
- Tai Situ Rinpoche XII, Awakening the Sleeping Buddha

Sensasi keterbukaan yang dirasakan oleh orang-orang ketika mereka menenangkan pikiran mereka di dalam istilah Buddhis disebut kekosongan, salah satu kata yang mungkin paling banyak disalahartikan dalam filosofi Buddhis. Kata ini cukup sulit untuk dipahami oleh umat Buddha, dan orang-orang Barat butuh waktu lebih lama lagi untuk memahaminya, karena banyak penerjemah awal teks-teks Buddhis bahasa Sanskrit dan Tibet menginterpretasikan kekosongan sebagai "kenihilan" atau ketiadaan - mereka telah salah menyamakan kekosongan dengan konsep bahwa tidak ada sesuatu pun yang nyata. Tidak ada yang lebih benar daripada kebenaran yang dijelaskan oleh Buddha.

Ketika Buddha mengajarkan hakikat sejati pikiran - kenyataannya, hakikat sejati semua fenomena - adalah kosong, tidak dimaksudkan bahwa hakikat sejati pikiran itu tidak ada, seperti sebuah ruang hampa. Beliau mengatakan bahwa keadaan ini disebut kekosongan (sunyata), yang dalam bahasa Tibet tersusun menjadi dua kata : tongpa-nyi. Tongpa berarti "kosong", tetapi hanya digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang berada di luar jangkauan indra dan kemampuan kita dalam mengonsepkannya. Terjemahan yang lebih baik mungkin adalah "tidak terbayangkan" atau "tidak bisa diberi nama". Sedangkan katanya nyi, tidak mempunyai arti khusus dalam percakapan dalam bahasa Tibet sehari-hari. Ketika kata nyi ditambahkan pada kata yang lain, ia memberi kesan "mungkin" - sebuah kesan bahwa apa saja bisa muncul, apa saja bisa terjadi. jadi ketika orang Buddhis membahas tentang kekosongan, kami tidak berbicara tentang ketiadaan/kenihilan, melainkan lebih kepada potensi tanpa batas bagi apa saja untuk muncul, berubah, dan lenyap.

Mungkin kita bisa menggunakan perumpamaan dari para ahli fisika kontemporer yang telah mempelajari fenomena yang aneh dan menarik yang mereka lihat ketika mereka meneliti cara kerja atom dari dalam. Menurut para ahli fisika yang telah berdiskusi dengan saya, dasar dari semua kemunculan fenomena subatomik sering disebut sebagai status hampa, keadaan di mana energi
sangat lemah di dalam dunia subatomik. Dalam status hampa, partikel-partikel terus muncul dan hilang. Jadi, meskipun sepertinya kosong, status ini sebenarnya sangat aktif, penuh dengan potensi untuk menghasilkan apa saja. Dalam hal ini, kehampaan mempunyai beberapa kualitas yang sama dengan "kualitas kekosongan pikiran". Sama seperti kehampaan yang dianggap "kosong", tetapi merupakan sumber dari mana semua jenis partikel muncul, pikiran sebenarnya "kosong" karena pikiran
menantang deskripsi absolut. Tetapi di luar dari pemahaman dasar yang tidak bisa didefinisikan dan tidak lengkap, semua bentuk-bentuk pikiran, emosi, dan sensasi terus muncul.

Karena sifat sejati pikiran adalah kekosongan, Anda memiliki kapasitas untuk mengalami bentuk-bentuk pikiran, emosi, dan sensasi apa saja tanpa batas. Bahkan kesalahpengertian akan kekosongan hanyalah sebuah fenomena sederhana yang muncul dari kekosongan.

Sebuah contoh sederhana mungkin bisa membantu Anda untuk mengerti kekosongan melalui pengalaman.

Beberapa tahun lalu, seorang siswa meminta saya untuk mengajarkannya kekosongan. Saya memberikan penjelasan dasar dan ia kelihatannya senang - lebih tepatnya bersemangat.

"Wow, keren sekali !" katanya di akhir pembicaraan kami.

Pengalaman saya sendiri mengajarkan bahwa kekosongan tidak sebegitu mudah untuk dipahami dalam satu pertemuan, jadi saya menginstruksikannya untuk memeditasikan apa yang sudah ia pelajari selama beberapa hari.

Beberapa hari kemudian, tiba-tiba ia muncul di depan kamar saya. Dari wajahnya ia terlihat ketakutan. Dengan wajah pucat dan pasrah serta tubuh yang sedikit gemetar, ia perlahan-lahan melangkah masuk ke kamar - seperti hendak mengecek apakah lantai di depannya adalah pasir apung.

Ketika akhirnya ia berhenti di depan saya, ia berkata, "Rinpoche, Rinpoche meminta saya untuk memeditasikan kekosongan.

Tetapi, kemarin malam, tiba-tiba saya menyadari bahwa jika semuanya kosong, maka seluruh ruangan ini kosong, lantai ini juga kosong, dan tanah di bawah saya juga kosong. Jika ini benar, mengapa kita semua tidak terjeblos menembus lantai hingga masuk ke dalam tanah ?"

Saya membiarkan ia selesai bicara. Kemudian saya bertanya, "Siapa yang akan jatuh ?"

Ia memikirkan pertanyaan saya selama beberapa saat, dan kemudian ekspresi wajahnya berubah total. "Oh," sahutnya, "Saya mengerti! Jika gedung ini kosong dan orang-orang juga kosong, tidak ada seorang pun yang jatuh dan tidak ada sesuatu pun yang kejatuhan apa pun."

Ia mendesah cukup lama. Dari gerak-gerik tubuhnya saya pikir ia sekarang sudah merasa aman dan santai. Warna wajahnya juga berubah. Jadi, saya memintanya lagi untuk memeditasikan kekosongan dengan pengertian baru ini.

Dua atau tiga hari kemudian ia datang lagi ke tempat saya dengan tiba-tiba. Dengan wajah pucat dan tubuh gemetar, ia masuk ke kamar saya. Saya bisa melihat dengan cukup jelas kalau ia berusaha keras untuk menahan nafas; ia takut kepada nafas.

Sambil duduk di depan saya, ia berkata, "Rinpoche, saya bermeditasi dengan obyek kekosongan sebagaimana yang Rinpoche instruksikan, dan saya paham bahwa sama seperti gedung ini dan tanah di bawahnya yang kosong, saya juga kosong. Tetapi ketika saya terus mengikutinya, saya masuk semakin dalam dan semakin dalam lagi hingga akhirnya saya tidak lagi bisa melihat atau merasakan apa-apa. Saya takut jika saya hanyalah kekosongan, saya akan mati. Itulah sebabnya saya bergegas menemui Rinpoche pagi ini. Jika saya hanyalah kekosongan, maka pada dasarnya saya tidak ada, dan tidak ada yang bisa menahan saya untuk terurai menjadi kekosongan."

Ketika saya sudah yakin kalau ia sudah selesai bicara, saya kemudian bertanya, "Siapa yang akan terurai ?"

Saya menunggu beberapa saat hingga ia memahami pertanyaan tersebut, lalu saya melanjutkan. "Anda telah salah mengerti. Kekosongan tidak sama dengan kenihilan (bahwa segala sesuatu tidak ada). Hampir semua orang membuat kesalahan yang sama pada awalnya, mencoba memahami kekosongan sebagai sebuah ide atau konsep. Saya juga melakukan kesalahan yang sama. Tetapi tidak ada satu pun jalan untuk memahami kekosongan secara konsep. Anda hanya bisa memahaminya lewat pengalaman langsung. Saya tidak memaksa Anda untuk percaya kepada saya. Yang saya katakan adalah ketika beberapa kali nanti Anda duduk bermediatasi, tanyakan kepada diri Anda, "Jika sifat alami segala sesuatu adalah kosong, siapa atau apa yang bisa terurai ? Siapa atau apa yang bisa lahir atau siapa atau apa yang bisa mati ? Coba lakukan dan jawabannya mungkin mengejutkan Anda."

Setelah mendesah, ia setuju untuk mencoba lagi.

Beberapa hari kemudian, ia datang kembali ke kamar saya, tersenyum penuh kedamaian sambil berkata, "Saya pikir saya mulai mengerti kekosongan."

Saya memintanya untuk menjelaskan lebih lanjut.

"Saya mengikuti petunjuk Rinpoche, dan setelah memeditasikan subyek itu untuk waktu yang lama, saya menyadari bahwa kekosongan bukanlah kenihilan, karena harus ada sesuatu sebelum tidak ada sesuatu. Kekosongan adalah segalanya - semua kemungkinan akan keberadaan dan ketidakberadaan yang bisa dibayangkan, muncul/terjadi bergantian. Jadi jika hakikat sejati kita adalah kekosongan, maka tidak ada seorang pun yang bisa dianggap mati atau tidak ada seorang pun yang benar-benar lahir, karena kemungkinan sesuatu terjadi dan tidak terjadi hadir setiap saat."

"Sangat bagus" puji saya. "Sekarang lupakan semua yang Anda katakan, karena jika Anda mencoba untuk mengingatnya dengan tepat, Anda akan mengubah semua yang Anda pelajari menjadi konsep, dan Anda harus mulai dari awal lagi."
Share

Permalink Reply by Hudoyo Hupudio on March 11, 2009 at 1:26am
Send Message
Mas Thomas,

Setelah membaca uraian yang panjang lebar tentang kekosongan di atas, apakah pembaca lalu tercerahkan, seperti murid Rinpoche itu? Saya rasa tidak.

Mengapa? Karena uraian yang panjang lebar itu pada dasarnya masih merupakan upaya untuk menjelaskan sesuatu yang menurut penulisnya sendiri pada awal uraian itu dikatakannya "tidak bisa dikonseptualisasikan dengan kata-kata atau apapun juga..." [maksudnya tidak bisa dipikirkan].

Tapi karena penulisnya berasal dari tradisi Vajrayana, maka tidak mengherankan kalau tulisannya bersifat metafisikal sepenuhnya, digabungkan dengan nuansa mistikal ketika menyentuh meditasi.

*****

Di lain pihak, dalam tradisi Theravada, dari mana MMD berasal, orang tidak berupaya untuk memahami panjang lebar hal-hal yang terletak di luar kemampuan pikiran untuk memahaminya.

Alih-alih, orang tetap berada & menyadari 'apa adanya' saat kini, yakni batin yang dipenuhi pikiran & perasaan yang berseliweran ini.

Apa yang terjadi pada saat pikiran berhenti, tidak dibicarakan.

Itulah SELURUH latihan MMD. Tidak ada landasan metafisikal tentang kekosongan dsb sedikit pun juga.

PS:

<< ... tradisi meditator Buddhis adalah tradisi tertua di dunia yang secara khusus mengeksplorasi diri dan pikiran manusia. Saya tergoda menyebutnya sebagai guru/ibu/akar bagi segala ilmu sains pikiran dan psikologi modern. >>

Menurut hemat saya, "metodologi" meditasi sangat berbeda dengan metodologi sains. Dengan metodologinya yang sekarang, saya rasa sains tidak akan pernah mencapai kesadaran yang dicapai dalam meditasi, betapa pun kepala meditator dipasangi kawat-kawat elektroda.


<<>>

Dari pernyataan ini tampak bahwa 'fundamental awareness' itu (mungkin seperti yang dimaksud dalam Udana 8.3), TIDAK BERBEDA dari apa yang "SEBELUMNYA dibatasi oleh dualisme".
Statement ini bisa diperdebatkan kalau orang mau memperdebatkannya. Betulkah 'kesadaran fundamentral' itu SAMA dengan kesadaran pikiran sehari-hari, ataukah suatu tataran lain yang sama sekali berbeda, seperti perbedaan antara mimpi dan bangun?
Saya sendiri tidak berminat memperdebatkannya, karena hal itu hanya akan merintangi keadaan sadar/eling, dan cuma akan memberikan kepuasan intelektual semata-mata, yang hanya memperkuat ego.


<<>>

Fisika teoretis modern tidak sesimpel itu. Teori kuantum yang mutakhir malah memecah para fisikawan teoretis menjadi dua kubu yang saling bertentangan pemahamannya.

Yang menarik, di sini tampak sekali lagi seolah-olah tradisi kontemplasi/meditasi merasa "rendah diri" dan selalu berusaha mencari pembenaran dari sains modern.

Permalink Reply by bodohsatva on May 26, 2009 at 10:04pm
ha ha...
saya koq merasa... telalu panjang di bahas
"yang sederhana" ini akhirnya menjadi rumit ha ha ha.... (karena "Dia" terlalu sederhana untuk dimengerti oleh pikiran yang terlalu kompleks)
bukan berarti tidak usah dibahas sama sekali, tapi harus pas!!! itu yg agak susah... he he he
mohon petunjuk...


Permalink Reply by Hudoyo Hupudio on May 27, 2009 at 2:41am
Send Message
"Sederhana" dan "rumit" --seperti halnya semua dualitas-- kedua-duanya berasal dari PIKIRAN. Bila PIKIRAN berhenti, tidak ada lagi pengertian 'sederhana' dan 'rumit'.

Mencari "yang pas" itu malah akan menambah panjang pembahasan ...

"Petunjuk" dari saya bisa dibaca kembali dalam posting saya dua posting di atas ini.

Permalink Reply by bodohsatva on May 30, 2009 at 3:19pm
hmm...
saya sependapat...
((Yang menarik, di sini tampak sekali lagi seolah-olah tradisi kontemplasi/meditasi merasa "rendah diri" dan selalu berusaha mencari pembenaran dari sains modern))

sepertinya kebanyakan kita selalu mencari pembenaran diluar diri... yah? (termasuk saya)
ha ha ha

saya ingin berbagi filsafat yang mungkin berguna bagi semua (walau saya tidakpaham benar)
dalalm aliran Maitreya ada istilah "真空妙有" untuk menjelaskan kebenran tertinggi yang absolut... terjemahannya kira-kira "kesunyataan sejati - keajaiban rupa (bentuk/wujud)", dikatakan bahwa kekosongan sejati bukan lah kosong??? he he saya juga belum sepenuhnya mengerti... katanya sih yang sunya tidak terpisahakan dari wujud dan wujud tidak meninggalakan sunya... ???

ow kalo mau dibahas panjang...
gak di bahas gak ngerti...
he he

Permalink Reply by Hudoyo Hupudio on June 1, 2009 at 10:37am
Send Message
Apakah untuk memahami gerak-gerik aku/diri dan bebas darinya PERLU NGERTI segala macam filsafat seperti itu?
Saya rasa tidak.

Permalink Reply by bodohsatva on June 1, 2009 at 11:38am
memang benar tidak perlu...
namun jika mengerti itu maka akan sendirinya mengeri "diri" sejati...
dan saya kira karena mengerti diri sejatilah muncul filsafat tersebut???
he he


Permalink Reply by Hudoyo Hupudio on June 1, 2009 at 11:48am
Send Message
Tampaknya Anda mencampuradukkan PENGALAMAN dan PIKIRAN (konsep, filsafat), dua hal yang sama sekali berbeda.
Kalau memang begitu pengertian & sikap batin Anda, tidak ada gunanya lagi diskusi ini diteruskan.

Permalink Reply by bodohsatva on June 6, 2009 at 1:46pm
... ... ...

:D

Permalink Reply by siska on May 28, 2009 at 12:18pm
"Jadi ketika orang Buddhis membahas tentang kekosongan, kami tidak berbicara tentang ketiadaan/kenihilan, melainkan lebih kepada potensi tanpa batas bagi apa saja untuk muncul, berubah, dan lenyap."

Ketika membaca ini, saya terpikir, "ketika orang Buddhis membahas tentang kekosongan, kami tidak tahu apa yang kami bicarakan." :))

Permalink Reply by Hudoyo Hupudio on May 28, 2009 at 3:00pm
Send Message
<<>>

... tapi merasa tahu. :-D

Permalink Reply by siska on May 28, 2009 at 6:09pm
sok tahu, mungkin harus dimasukkan dalam sila nomor 6 - saya bertekad melatih diri menghindari sok tahu? :))
tapi paling cuma akan jadi ritual aneh lagi....

Permalink Reply by Hudoyo Hupudio on May 28, 2009 at 6:40pm
Send Message
hahaha ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar